Rabu, 27 Oktober 2010

Masa Depan Bukan Milik Pemuda

Masa Depan Bukan Milik Pemuda **)

Oleh: Khairudin M. Ali *)

SUATU saat beberapa tahun yang lalu, saya menerima sebuah undangan dari panitia dialog pemuda yang diselenggarakan oleh KNPI Kabupaten Bima. Kegiatan yang digagas untuk memeriahkan HUT pemuda dan KNPI itu, mengundang sejumlah nama yang sudah dikenal masyarakat seperti Maryono Nasiman, mantan Ketua KNPI yang kini jadi Sekda Kota Bima, Abubakar Muchdi, mantan ketua KNPI, Kapolres Bima ketika itu, AKBP Drs Rochmad, dan Bupati Bima.
Bagi saya, bukan hanya karena nama-nama beken di atas yang menjadi pertimbangan utama, mengapa saya merasa perlu untuk menghadiri acara tersebut. Namun yang menarik bagi saya, kegiatan tersebut khusus membahas secara terbuka tentang pemuda, dari sisi peluang juga tantangannya di masa datang. Selain karena kegiatan seperti ini terbilang cukup langka, juga saya memang berharap sejumlah tokoh yang diundang menjadi panelis, menyempatkan diri untuk hadir di acara ini.
Selain Bupati yang memang berhalangan, semuanya hadir. Bupati Bima, akhirnya diwakili oleh Muchlis HM Amin. Puluhan pemuda duduk melingkar di halaman kantor KNPI Kabupaten Bima yang sederhana. Kantor uzur itu, telah menjadi saksi bagaimana keluhan, harapan, maupun kegelisahan pemuda kini, disampaikan. Para pemuda ‘masa lalu’ yang menjadi panelis, cukup arif dan sungguh-sungguh memperhatikan berbagai masukan itu. Inilah yang saya sebutkan langka itu. Mereka bertemu pada sebuah forum yang tidak memungkinkan siapapun untuk tersinggung. Sebuah forum dialog intelektual, tanpa emosi yang terlalu meletup-letup, jika dibandingkan dengan bentuk penyampaian aspirasi dengan cara unjukrasa misalnya. Kesan santai, tetapi serius. Tak ada kesimpulan yang bisa disimpulkan. Tetapi yang pasti, dan saya yakin , semua yang hadir memperoleh ‘sesuatu’ yang berharga.
Dengan semangat pemuda masa kini, Ketua DPD II KNPI Kabupaten Bima, Nurfarhaty meletup-letup dengan banyak harapan dan kebanggaan plus, jika dibandingkan dengan para pemuda pendahulunya. Dari sisi organisasi saja, Nurfarhaty menilai KNPI masa lalu lebih enak karena bertabur fasilitas. Belum lagi posisi enak yang akan diterima pengurus. Hal ini memang sempat dibantah Abubakar Muchdi.
Namun terlepas dari banyak persoalan yang muncul, saya lebih tertarik dengan gaya pemaparan dan cara berpikir AKBP Drs Rochmad ketika itu. Mantan Kapolres Bima ini menyebutkan, masa depan bukan milik pemuda. ‘’Masa depan adalah milik siapa yang pintar melihat dan memanfaatkan peluang.’’ Statemen ini, tentu saja berbeda dengan apa yang disampaikan Soetomo pada Minggu, 20 Mei 1908. Sekitar pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirlahnya Boedi Oetomo.
Argumentasi Rochmad sederhana. Tidak ada masa depan menurutnya, bagi pemuda yang tidak bisa memanfaatkan peluang. Ini berarti, tidak secara otomatis masa depan ---yang cemerlang--- bisa diraih oleh pemuda, hanya karena mereka sekarang berusia muda. Tidak ada jaminan, karena berusia muda, kemudian bisa memiliki masa depan yang baik. Masa depan yang baik, hanya akan bisa diraih oleh siapapun, termasuk pemuda yang bisa memanfaatkan peluang-peluang yang ada.
Rochmad dan Soetomo sekilas terlihat beda. Yang membedakannya adalah konteks persoalan kini dan masa silam yang sarat dengan kepentingan politik memperjuangkan lahirnya sebuah negara yang bernama Indonesia. Ketika Boedi Oetomo lahir, negara yang bernama Indonesia masih sangat jauh dari dari bersatu, sebelum akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945, atau 37 tahun kemudian.
Pada saat itu, Rochmad bertanya kepada peserta dialog, siapa yang kini menguasai ekonomi di Jawa. Ia tidak menjelaskan, karena ia yakin semua peserta sudah mengetahuinya. Mengapa ini bisa terjadi? ‘’Mereka (warga Tionghoa) survive karena ditekan di mana-mana. Pada masa yang lalu, PNS yang nikah dengan wanita Tiongkok saja, bisa dipecat. Belum lagi larangan bagi mereka untuk tidak boleh berpolitik dan menjadi PNS,’’ ujar Rochmad. Karena ditekan sedemikian rupa, maka mereka survive dan akhirnya mampu menguasai ekonomi.
Rochmad yang mengaku kagum dengan CEO Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan, menyebutkan, kalau mau maju mestinya tidak usah menjadi birokrat, karena banyak aturan dan sistem yang harus ditaati. ‘’Kita ini tidak bisa mengubah sistem,’’ ujarnya.
Soal peluang yang disebut Rochmad, memang sebuah kata kunci. Saya kemudian teringat dengan sebuah buku kecil tulisan Yudi Pramuko yang berjudul ‘’Doktor Gila Jualan Bakmi Tebet.’’
Yudi dalam bukunya memaparkan, ternyata tanpa bakat, tanpa keturunan, tanpa modal, tanpa takut risiko, seorang doktor malah sukses jualan mi Tebet. Tokoh yang dimaksud Yudi adalah Dr Ir H Wahyu Saidi MSc.
Pria kelahiran Palemabang pada 24 Oktober 1962 lalu itu, kini memiliki lebih dari seratus outlet bakmi Tebet. Usaha yang dirintisnya mulai 2001 itu, telah menjadikannya milioner. Omzetnya mencapai angka miliaran rupiah sebulan.
Apa kunci suksesnya? Salah satunya adalah menangkap peluang. Sejarah munculnya Bob Sadino misalnya, karena ia bisa menangkap peluang. Ketika di Kemang tidak didapatinya telor berkualitas, ia kemudian belanja telor kemudian menyortirnya, mengemas dan menjualnya. Hasilnya, luar biasa.
‘’Kesempatan tidak datang dua kali.’’ Ungkapan lama ini sebetulnya sudah cukup memberikan petuah buat kita, bahwa setiap peluang yang ada, harus segera ditangkap.
Jadi benar apa yang diungkap mantan Kapolresta Bima, bahwa masa depan adalah miliki siapapun yang mampu menangkap peluang. Peluang ini sebetulnya sesuatu yang hanya bisa dibaca dengan kemampuan ‘lebih.’ Artinya, peluang bisa saja muncul seketika dan hilang seketika. Ia ibarat waktu. Tidak dimanfaatkan, maka kita akan rugi dan lewat begitu saja. Bukanlah suatu peluang usaha yang bisa memberikan harapan lebih, jika kita hanya meniru apa yang sudah dilakukan orang lain. John Maxwell berujar, milikilah hidup Anda sendiri. Di mana letaknya suka cita dari meniru orang lain? Jangan tergiur untuk ikut ramai-ramai jualan pisang goreng, hanya karena melihat tetangga kaya berjualan pisang goreng. Sebab tentu saja pasar pisang goreng sangat terbatas.
Kata Bondan Winarno, orang mungkin berpikir bahwa peluang sama dengan angan-angan. Bedanya hanya satu: peluang menjanjikan kemungkinan, tetapi angan-angan tidak menjanjikan apa-apa. Namun demikian, banyak juga cerita sukses dari orang yang memulai dengan mimpi. Jadi bermimpilah. Impian Anda saat ini, bisa saja dicemooh dan menjadi bahan tertawaan. Tetapi banyak orang sukses yang berangkat dari sebuah mimpi. Apalagi kalau Anda punya motivasi dengan kata kunci bisa, dan pasti akan bisa.
Yang terpenting menurut Mohammad Natsir (1908) mulailah dari yang ada karena yang ada itu lebih dari cukup untuk memulai pekerjaan. Dr Ir H Wahyu Saidi, MSc adalah contoh. Bahkan kalau Anda sudah mempunyai yang besar, mengapa harus mulau dari yang kecil? Mestinya dengan kemampuan akademis dan pernah menjadi dirut sejumlah perusahaan swasta, telah membuat Dr Wahyu menjadi ‘orang.’ Tetapi dengan berbagai pertimbangan, ia malah banting stir menjadi penjual mi Tebet. Ini luar biasa, apalagi usaha itu dimulainya dari modal seadanya.
Lalu bagaimana dengan kondisi terkini pemuda kita di Bima? Inilah yang harus kita jawab bersama dan peserta Pelatihan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Pemuda Kabupaten Bima Tahun 2008 ini. Jangan pernah berpikir seakan pemuda kita saat ini sudah oke. Tidak ada masalah dan siap menerima masa depan. Tidak akan tergadaikan. Padahal kegelisahan banyak orang tua di daerah ini terus menumpuk manakala buah hati mereka yang terus beranjak dewasa dan sudah tamat sekolah, tetapi masih saja menyusui.
Ini kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Para elite pemuda saat ini masih lebih banyak bermain pada tataran wacana ketimbang real action. Pada tataran ini memang kapasitas intelektual dibutuhkan. Karena butuh argumentasi akademis dan penempatan istilah yang pas untuk mengucap sebuah kalimat supaya terlihat lebih intelek. Tetapi sekali lagi, apa yang sudah dilakukan dalam bentuk karya nyata, masih perlu dipertanyakan.
Mengapa Bima tidak memiliki tokoh sekaliber Jusuf Kalla atau Fadel Muhammad. Padahal Goa dan Bima memiliki sesuatu yang tidak jauh berbeda. Sekali lagi, kita perlu introspeksi. Padahal masa yang lalu kita punya pengusaha hebat seperti H Abidin, misalnya. Tetapi kita semua perlu berbuat yang terbaik dan memulai dari sekarang. Tangkap peluang, seriusi, fokus dan buat pilihan.
Hidup penuh dengan pilihan, pilihan terbaik buat Anda, hanya Andalah yang tahu. Jangan setengah-setengah. Kata sang doktor gila penjual mi Tebet, harus berani mulai, maka Anda akan sukses, ya sukses karena mampu menangkap peluang seperti kata AKBP Rochmad, mantan Kapolresta Bima...…..(*)

*) Khairudin M. Ali, Ketua PWI Bima.
**) Disampaikan pada Pelatihan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Pemuda Kabupaten Bima Tahun 2008 di Paruga Parenta.