Selasa, 28 Juli 2009

Program STBM Tekankan Perubahan Perilaku

Bima, Bimeks.-
Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) WSLIC 2 atau Community Led Total Sanitation (CLTS) disosialisasikan, Selasa (28/7). Kegiatan itu dibuka di Paruga Parenta, kemudian dilanjutkan di aula Dinas Kesehatan (Dikes) Kabupaten Bima.
Pematerinya adalah Hurainsyah dari CPMU, Ketut Sudiarta (Dikes NTB), Khairul Jaman (BPM NTB), Ir M Jafar (Ketua Bappeda Kabupaten Bima), dan drg Hj Siti Hadjar (Kepala Dikes Kabupaten Bima).
Saat itu, Hurainsyah memaparkan latar belakang pelaksanaan kegiatan STBM yang berbeda dengan program sebelumnya. Jika WSLIC 2 fokus pada target fisik, STBM lebih menekankan pada perubahan perilaku dan akses terhadap sanitasi sebagai kebutuhan masyarakat. Pendekatan lainnya adalah melalui promosi dan pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran.
Dikatakannya, prinsip aksi pelaksanaan STBM adalah perubahan perilaku, pendekatan bertahap menuju perubahan, berdasarkan kebutuhan masyarakat atau bukan dari atas ke bawah (top down). Selain itu, masyarakat terlibat sejak perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan. Selain itu, merupakan aksi kolektif atau gotong-royong masyarakat dan pilihan lokal, bukan berdasarkan acuan desain.
Hal lain yang dipaparkan adalah masalah tidak buang air besar sembarangan (BABS). Saat itu, dia menyatakan di wilayah Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan (Sumsel), camat dan pihak kesehatan membuat kesepakatan soal larangan BABS. Dia meminta agar hal yang sama dilakukan di Bima dengan menggali kearifan lokal.
Pemateri lainnya, Khairul Jaman memaparkan bahwa di Indonesia kondisi masyarakat yang masih berperilaku BABS sekitar 30 persen, 18,13 persen dilakukan oleh masyarakat perkotaan. Dari kondisi itu, menyebabkan kualitas air tercemar karena muncul 14.000 ton tinja/hari yang memicu kerusakan 75 persen sumber mata air.
Pada bagian lain, Kepala Dikes Kabupaten Bima, drg Hj Siti Hadjar, membeberkan cakupan jamban masyarakat dari seluruh desa selama lima tahun terakhir ini. Saat itu, Hadjar merinci desa dan kecamatan yang bisa dipromosikan menjadi wilayah ODF.
Katanya, kecamatan Woha memiliki cakupan jamban keluarga tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya, yakni sebesar 95,59 persen. Kecamatan lainnya, seperti Sape masih terseok-seok pada level 31,32 persen. Dampak dari kenyataan di Sape itu, katanya, tak heran jika tahun lalu bersama Lambu, hampir 1.000 warga terjangkit diare dan ditengarai karena masalah PHBS.
Hal lain yang mengemuka dan ditanyakan oleh pihak kecamatan dan Puskesmas adalah cara yang bisa dilakukan untuk mengubah perilaku masyarakat. Selain itu, keberlanjutan sosialisasi program STBM di kecamatan dan desa. (BE.12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar