Pengadilan Agama Raba Bima, jalan Gatot Soebroto, dilihat dari depan. Seiring menterengnya bangunan kantor, kasus perceraian pun meningkat.
Beberapa waktu terakhir ini, kasus perceraian di Kota dan Kabupaten Bima meningkat drastis. Sebagian besar didominasi gugatan kaum Hawa. Hingga Agustus saja sudah ada 838 perkara yang sudah diputuskan Pengadilan Agama (PA) Raba Bima. Namun, pada sisi lain fenomona ini juga membebani Pengadilan dengan terpaksa menggenjot “jam terbang” hakim. Seperti apa kondisinya? Berikut catatan Fachrunnas.
Beberapa pegawai berseragam hijau tua, Rabu (14/10), tampak hilir-mudik di gedung PA Raba Bima, jalan Gatot Soebroto. Meski tidak ada sidang pagi itu, sejumlah pegawai tampak dengan kesibukannya masing-masing. Maklum saja, sejak setahun terakhir ini, Pengadilan kelas 1b itu merupakan salah satu kantor yang termasuk super sibuk menyusul meningkatnya kasus perceraian.
Di sela kesibukan itu ada juga beberapa pengujung Pengadilan yang tampak menikmati tayangan televisi yang memang dipasang di ruang tengah, sambil menunggu perkara mereka diproses.
Berbeda dengan bulan-bulan saat tahun tahun 2008 lalu, menurut Panitera Muda Hukum PA Raba Bima, Drs Mukhtar, sejak awal Januari hingga Agustus sudah 838 kasus perceraian yang sudah diputuskan. Dengan rata-rata jenis gugatan atau diajukan kaum Hawa. Angka itu meningkat jika dibandingkan tahun 2008 dengan total hanya 800 kasus.
“Bisa dibayangkan, sampai Agustus saja sudah 838 kasus padahal dari awal hingga akhir tahun 2008 lalu hanya sekitar 833 kasus saja,” katanya.
Akibat deretan kasus yang hampir mencapai ribuan itu, “jam terbang” sejumlah hakim pun meningkat drastis. Cukup berbeda degnan sejumlah Pengadilan setingkat kelas 1b lainnya di Indonesia. Sejak setahun terakhir ini, PA Raba Bima mampu menggelar 30 kali sidang dalam sehari, melayani “animo” kaum hawa menggugat suaminya. Padahal, dari jumlah hakim hanya tujuh orang, dua diantaranya merupakan hakim anggota. Bahkan, terkadang sidang digelar hingga pukul 16.00 wita.
“Kalau tidak begitu, perkara akan menumpuk terus, makanya para hakimnya harus bisa jaga kondisi. Tidak boleh flu sedikit pun. Kalau tidak, konsentrasi penyelesaian perkara akan pecah,” ujar Mukhtar.
Menurut Muktar, sebenarnya kondisi jumlah hakim yang terbatas jika dibandingkan jumlah perkara yang harus ditangani sudah disampaikan kepada pemerintah. Hanya saja, hingga saat ini belum direspons. Padahal, idealnya, sesuai dengan jumlah perkara yang menumpuk itu, Pengadilan membutuhkan hakim minimal 12 orang. Apalagi, saat ini jumlah pegawai di Pengadilan itu juga terbatas.
“Sekarang ini jumlah angka perceraian cenderung meningkat, tidak hanya didominasi lagi Kabupaten Bima, tapi sudah imbang dengan Kota Bima. Tapi untungnya saat ini juga sudah ada rencana pembentukan Pengadilan Agama Kota Bima,” ujarnya.
Secara umum, kata Mukhtar, banyak yang memicu perceraian. Khusus kaum Hawa memiliki pertimbangan tersendiri, diantaranya sebagian besarnya karena merasa suami tidak bertanggungjawab menafkahi. Alasan lainnya, suami memiliki Wanita Idaman Lain (WIL) atau berselingkuh.
Namun, sebagian besarnya didominasi masalah ekonomi atau faktor kesejahteraan. Terbukti, beberapa bulan lalu saat musim panen, PA Raba Bima dalam sebulan menerima hingga 170 lebih permohonan gugatan. Hanya beberapa saja perceraian yang disebabkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), sisanya perceraian dari permintaan (talak) suami.
Dari sejumlah kasus itu, ada juga yang tercatat menembus hingga tingka banding, lantaran suami berusaha mempertahankan rumahtangganya. Khusus Januari, ada dua yang sampai tingkat banding, sebagian besar suami masih belum mau menceraikan istrinya. Sisanya karena persoalan hak kekayaan. “Sebenarnnya sudah ada upaya kita mendamaikan tapi kebanyakan ngotot sampai berpisah,” katyanya.
Selain perceraian, sejumlah kasus yang ditangani PA Raba Bima juga perkara gugatan harta warisan. Beberapa kasus itu juga tercatat hingga ke tingkat kasasi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar