Kamis, 01 Oktober 2009

Pemecah Batu di Kumbe Kembali Bergeliat

Kota Bima, Bimeks.-
Sekian lama vakum dari kegiatan rutin memecah batu, sebagian pekerja di Kelurahan Kumbe kini mulai beraktifitas lagi. Selama dua bulan, mereka beralih profesi menjadi kuli bangunan, berladang, berternak, dan lain-lain.
Tetapi, diakui, tidak mampu memikul beban kebutuhan keluarga sehari-hari karena waktu panen yang lama dan pendapatannya tidak tetap. Meskipun pendapatan dari memecah batu tidak banyak, namun dinilai lebih membantu keuangan keluarga.
Walaupun mendapat larangan dari Pemerintah Kota (pemkot) Bima untuk menggali dan memecahkan batu di pinggir pegunungan tersebut, para pemecah batu di lingkungan Kumbe tetap melanjutkan aktifitasnya. Alasannya? Memenuhi kebutuhan keluarga.
Arsad, pemecah batu di lingkungan Kumbe, berharap pemerintah memperhatikan nasib mereka. Selain memecah batu, tidak mempunyai pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang. “Bukan sebaliknya melarang untuk melanjutkan aktifitas,” katanya.
Pria yang sudah 20 tahun menjalani profesinya itu, juga pemerintah bisa merasakan penderitaan para pemecah batu. Peraturan yang melarang memanfaatkan batu di pinggir pegunungan, mengekang dan mematikan mata pencaharian mereka.
“Jangankan memberi bantuan kepada kami seperti yang dijanjikan selama ini, sekarang pemerintah malah melarang kami memanfaatkan hasil alam,” kritiknya di Kumbe, Rabu (30/9).
Pemecah batu lainnya A Bakar mengatakan, karena kebutuhan keluarga makin mendesak dan pesanan batu dan kerikil meningkat, kembali memecah batu dengan memboyong anak dan istrinya untuk membantunya. Dalam waktu empat hari, mampu memecah satu truk batu berukuran besar, sedangkan kerikil membutuhkan waktu 14 hari bagi istri dan anaknya untuk menyelesaikannya.
Bapak tujuh anak ini menambahkan, dengan memecah batu kebutuhan keluarganya setiap hari akan terpenuhi. Disamping mendapatkan hasil satu kali dalam empat hari senilai Rp100.000, setiap hari mendapat uang dari upah buruh sebesar Rp5.000-Rp20.000. Jika dikumpulkan, dalam sebulan penghasilan bisa mencapai Rp700.000, bahkan lebih.
“Namun, pendapatan itu bergantung dari lancarnya truk pengangkut yang datang dan banyaknya permintaan dari proyek yang sedang berlangsung,” katanya.
Walaupun pesanan batu dan kerikil meningkat tajam, para pemecah batu masih menjual hasil keringatnya dengan harga yang sama yaitu Rp100.000 untuk batu berukuran besar, Rp300.000 untuk kerikil. Fluktuasi harga bergantung dari kesepakatan bersama antara pemecah batu di setiap lokasi.
Syarif, supir truk mengakui, selama peraturan Pemkot Bima yang melarang para pemecah batu beraktifitas, bersama supirnya kesulitan mendapatkan persediaan batu berukuran besar maupun kerikil. Padahal, kebutuhan batu meningkat setiap saat menyusul pembangunan rumah atau gedung.
Tidak jarang, dia ikut membantu mengumpulkan batu untuk diangkutnya karena muatannya kurang. “Biasanya persediaan batu banyak, sekarang kurang jadi terpaksa saya ikut mengumpulkan,” tuturnya. (K03)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar