Kota Bima, Bimeks.-
Pascaotonomi daerah, peraturan daerah (Perda) bersemangat syariat Islam banyak bermuncul di setiap daerah. Tidak terkecuali di Bima dengan Perda Jumat Khusu, Anti-Maksiat, Larangan Peredaran Miras, dan Perda Zakat. Hanya saja, semua itu kini penerapannya tidak maksimal dan cenderung terabaikan.
Pendapat itu terungkap dari peserta Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan-Jakarta di Hotel La Ila, Selasa (15/9).
Diskusi itu untuk mengetahui bagaimana Kebijakan Berkeadilan Gender dan Berbasis Pluralisme. Beragam pandangan mengemuka dalam pertemuan terbatas itu dengan peserta dari berbagai kalangan.
Dzul Amirul Haq, dari Fitua Institute, mengatakan sejak 2001 di Bima muncul Perda Anti-Maksiat, 2002 Jumat Khusu’, Perda Zakat dan lainnya. Saat munculnya Perda itu, tidak pernah ada lembaga yang mencoba mengeritisinya. Lahirnya Perda itu juga dilihatnya karena kepentingan elit politik, bukan muncul dari masyarakat. “Masalah agama sering menjadi komoditi politik,” sorotnya.
Marfuah dari Lembara Perempuan juga menilai kebijakan mengenai berbagai Perda itu, hanya berlaku pada masa pemerintahan yang mengusulkan Perda. Selanjutnya, pelaksanaan Perda saat ini tidak sama dengan sebelumnya.
Seperti halnya zakat profesi yang kini tidak lagi diwajibkan kepada semua pegawai. Bahkan, hanya dua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang terus membayarkannya, yakni Dinas Kesehatan dan Sekretariat Daerah Kabupaten Bima. Padahal, sangat potensial sebagai sumber dana untuk pemberdayaan masyarakat miskin.
Anggota DPRD Kabupaten Bima, HM Nur, SH, MH, menyatakan Perda yang diterbitkan memang tidak dengan sanksinya. Kurangnya pengawasan dinilai penyebab mandulnya pelaksanaan Perda di lapangan.
Bagaimana dengan isu gender? Dr Mahjulan dari Bappeda Kabupaten Bima, menilai wacana gender masih sensitif, karena dianggap berbau Barat. Kata gender itu sendiri dianggapnya masih menjadi perdebatan.
Leonardo, pendeta Protestan Bima, mengatakan dalam sejarah Kristen pernah membuat aturan-aturan di luar Injil. Namun, lambat laun tidak dilaksanakan dan berujung pada lahirnya paham komunis.
Baginya, pembuatan aturan seperti itu dapat mengecilkan nilai agama. Nilai-nilai agama mestinya masuk ke sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Peserta diskusi juga sempat mengemukakan tentang fenomena sosial saat ini di Bima. Terjadinya pembunuhan sadis di Kole, perjudian benhur terbuka saat bulan Ramadan, dan banyak kasus lainnya. Masyarakat Bima mudah tersulut emosi, padahal pemerintah telah menggencarkan program pembumian al-Quran. Hanya saja, cerminan program itu tidak terlihat dalam prilaku sebagian masyarakat.
Winoto, dari Kapal Perempuan, mengatakan kegiatan FGD itu untuk mendapatkan masukan tentang bagaimana keterkaitan pemberlakukan syariat Islam dengan masalah gender dan pluralisme. Hasil diskusi akan disodorkan pada pihak yang pengambil kebijakan. Kegiatan serupa juga dilakukan di Dompu dan Lombok. (BE.16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar