Selasa, 13 Oktober 2009

Zubair: Gizi Buruk itu “Bom Waktu”

Kota Bima, Bimeks.-
Akademisi Politekes Mataram Kampus Bima, Zubair, SKM, MKes, mengingatkan seluruh komponen, terutama pemerintah, agar serius dalam penanganan kasus Gizi Buruk (GB). Pasalnya, bisa menjadi “bom waktu” bagi masa depan dan kualitas generasi.
Katanya, embrio kasus GB disebabkan multifaktor yang saling berkaitan, seperti tingkat pendidikan, dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap masalah kesehatan. Namun, faktor dominan adalah ekonomi atau kesejahteraan masyarakat. Ratusan kasus GB yang berderet di setiap wilayah menggambarkan masih lemahnya intervensi pemerintah dalam penanganan masalah itu. Meskipun pada sisi lain pemerintah melaporkan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) cenderung meningkat.
“Kalau ditanya tingkat IPM, saya adalah orang pertama yang tidak percaya dengan itu, karena IPM itu dilihat dari tiga aspek, pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Nyatanya kasus gizi buruk kita masih banyak,” ujar Zubair kepada wartawan di kampus Politekes, Senin (12/10).
Dikatakannya, sesuai penjabarannya IPM diukur dari tiga bidang, yakni pendidikan diantaranya tingkat melek huruf dibandingkan buta aksara, bidang kesehatan diantaranya menyangkut angka harapan hidup ibu dan anak, dan persoalan gizi. Bidang ekonomi diukur dari kemampuan daya beli masyarakat. “Sangat lucu, IPM Kota Bima dilaporkan urutan kedua setelah Mataram, sementara kasus gizi buruk berderet, dari awal saya tidak percaya,” katanya.
Zubair mengatakan, lepas dari perbedaan data yang disampaikan Dikes dan Puskemas, pemerintah harus memberikan perhatian serius penanganan kasus itu, karena GB dalam masyarakat ibarat fenomena gunung es. Bisa saja angkanya melebihi yang kini mencuat, karena kasus itu berkaitan erat dengan kesejahteraan masyarakat.
Terbukti, rata-rata penderita GB berasal dari kalangan bawah. Pada bagian lain, secara umum perhatian atau intervensi pemerintah terhadap bidang kesehatan masih rendah, hal itu setidaknya dilihat dari dana yang disiapkan pemerintah hanya berkisar antara 5 hingga 6 persen.
“Tidak perlu mencari kambing hitam terhadap persoalan gizi buruk yang terpenting sekarang perhatian dari semua elemen untuk menanganinya, karena persoalan gizi buruk menyangkut masa depan generasi,” katanya.
Sikap apatis pemerintah terhadap persoalan GB, katanya, bentuk amputasi terhadap kelangsungan hidup generasi penerus, karena jika sejak dini sudah diserang kasus itu kualitas generasi tidak bisa diharapkan. Jangan menganggap masalah itu sepele, karena menyangkut massa depan bangsa, walaupun penderita sudah terlepas dari gizi buruk. “Pengaruhnya kepada kualitas generasi itu. Gizi buruk adalah “bom waktu” bagi kita, untuk itulah perlunya tindakan preventif,” katanya.
Zubair menambahkan, tidak hanya rehabilitasi, untuk menangani masalah kesehatan harus dilakukan secara langkah kuratif berupa promosi dan pencegahan penyakit itu. Bentuknya, khusus gizi buruk bisa dilakukan dengan meningkatkan kesehataraan masyarakat. Pasalnya, secara data statistis orang yang sakit hanya 7 persen, sisanya orang sehat dengan kondisi rentan terserang penyakit. (BE.17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar