Kota Bima, Bimeks.-
Meski belum ada data pasti, namun Bima menjadi salah satu wilayah di NTB dengan potensi konflik tertinggi. Jika ditelusuri, ada sederet pemicu konflik yang melibatkan kelompok pemuda dan meluas ke antarkampung. Diantarnya ego dan peredaran minuman keras (Miras).
Hal ini terungkap dalam seminar Penanganan Konflik di Paruga Parenta, Sabtu (8/8) lalu. Seminar dilaksanakan oleh Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden. Pemateri diantaranya penelitian dari LIPI, Yogi Sofian Rosa dan Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Bidang Keamanan, Sri Yanuarti. Kegiatan itu untuk menghimpun infomasi tentang akar konflik yang terjadi di Bima, apalagi menjelang Visit Lombok-Sumbawa 2012.
Sejumlah komponen menyampaikan pandangannya saat itu. Kepala Kesebanglinmaspol, Drs Abdul Karim, menyebut pemicu konflik adalah dari lemahnya kontrol terhadap peredaran Miras. Masyarakat kini dengan mudah mendapatkan Miras di toko-toko dan produsen hingga ke tingkat kecamatan. “Dalam acara hiburan malam misalnya, selalu diawali dengan menenggak Miras,” ujarnya.
Hal ini ,menurutnya dianggap hal biasa, terutama kalagan muda sehingga bentrok di lokasi acara kerap terjadi. Lebih dari itu, bentrok meluas ke tingkat masyarakat. Faktor lain, katanya, tidak terkontrolnya emosi masyarakat sehingga setiap orang dengan mudah menghujat orang lain.
Tokoh agama, H. Abdurrahim Haris, MA, menilai saat inin tingkat pemahaman agama semaki lemah, diperparah ketaatan atas norma adat yang mengikat nyaris hilang. “Pergeseran budaya yang mulai dirasuki modernisasi, asya pikir berperan penting mengubah pola hidup masyarakat dari yang taat agama dan hukum, malah semakin kendor,” ujarnya.
Dijelaskannya, masyarakat Bima dikenal dengan karakteristik lebih memertahankan harga diri. Tidak heran, ketika terjadi sengketa beberapa petak tanah, konflik antarkeluarga dan saudara kerap terjadi. Sebab. harga diri lebih penting dipertahankan ketimbang harga tanah yang nilainya tidak seberapa.
Untuk penegasan hukum adat itu, menurut Abubakar dari perwakilan masyarakat Wawo, pemerintah harus merangkul melalui Peraturan Daerah (Perda), sehingga secara yuridis berlaku ke semua lapisan masyarakat setiap kecamatan. Terungkap juga, tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai, menjadi pemicu masyarakat lebih mudah terpancing kegiatan yang ekstrim. Pemkab Bima pun dimintai pertanggungjawaban untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Sebelum penutupan acara, Sri Yanuarti menyampaikan keinginannya menelaah berbagai persoalan yang memicu konflik, khususnya di Bima dan berbagai daerah di NTB. “Hasil penghimpunan informasi ini sebagai dasar kami untuk kajian solusi yang tepat,” tandasnya.
Ketua MUI Kabupaten Bima, HM Said Amin, BA, mengatakan konflik itu akan selalu ada, sepanjang manusia masih hidup di muka bumi. Namun, langkah pencegahannya tidak ada lain meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Demikian juga dengan pemimpinnya harus melaksanakan ibadah sehingga menjadi contoh bagi masyarakat. (BE.16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar