Minggu, 13 September 2009

Penenun Akui Diuntungkan Kebijakan Pemerintah Daerah

Kota Bima, Bimeks.-
Meskipun pemakaian busana ‘rimpu’ menurun dari tahun ke tahun, produksi kain tenun tetap dipertahankan oleh masyarakat Bima sebagai warisan budaya. Disamping itu, kain tenunan bisa dimanfaatkan untuk membuat baju, sarung, dan pajangan.
Penenun dari Kelurahan Kumbe, Suara (35 tahun), mengaku permintaan kain tenun meningkat seiring dengan kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) dan Kabupaten Bima untuk memakai baju dari kain tenun ikat kepada seluruh jajarannya pada hari tertentu.
Dia mengakui sejak berlakunya kebijakan itu membawa keuntungan baginya, kebanjiran pesanan. Sebelumnya, hanya menenun kain untuk sarung dan pajangan saja dan hasil penjualannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sekarang penghasilannya lebih untuk ditabung dan biaya sekolah anak-anaknya. “Kami bisa menabung sekarang,” katanya di Kumbe, Minggu (13/9).
Biasanya, Suara menghabiskan 5 bal atau 250 ikat benang untuk 10 lembar kain tenun. Untuk 1 bal benang biasanya dibeli seharga Rp75.000 jadi untuk 50 bal, sekarang Rp375.000. Setiap hari, Suara mengaku bekerja mulai pukul 09.00 hingga 12.00 Wita, dimulai lagi 14.00 sampai 16.00 Wita. Satu sarung bisa diselesaikan dalam waktu tujuh hari.
Diakuinya, kegiatan itu rutin dilakukannya sejak usia 10 tahun sampai sekarang menikah dan memilik dua anak. Jenis kain tenunannya bermacam-macam, di antaranya tenun ikat jenis nggoli, termasuk tinti pete, lomba, su’i, bali, serta jenis lainnya seperti galendo yang bisa digunakan untuk sarung dan membuat baju. Satu lembar kain tenun ikat dijual seharga Rp250.000, sedangkan jenis nggoli dan galendo dijual seharga Rp90.000/lembar.
Berkat kegigihannya dalam memgembangkan budaya Bima, Suara dipercaya mewakili Kelurahan Kumbe memamerkan busana Bima di depan Wakil Presiden M Jusuf Kalla di Mataram, Agustus 2007. Saat itu, Suara dan teman-temannya langsung diarahkan oleh Wapres mengenai dunia usaha. (K03)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar