Kota Bima, Bimeks.-
Berdasarkan data seluruh Puskesmas di Kota Bima, kasus gizi buruk (GB) lebih dari yang dilaporkan selama ini. Selama periode Januari hingga Oktober 2009, kasus GB di Puskesmas Paruga mencapai 25 kasus, Puskesmas Penanae 10 kasus, Puskesmas Mpunda mencapai 29 kasus.
Sebelumnya, Puskesmas Asakota mencapai 35 kasus. Data Puskesmas Rasanae Timur belum berhasil dikonfirmasi.
Namun, meski sempat masuk dalam kategori klinis atau fase Marasmus, sebagian pasien berangsur pulih. Hanya saja, ada juga yang meninggal dunia. Untuk membantu biaya penanganan, dana diakui sangat minim dan terpaksa mengambil alokasi dana Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Khusus di Puskesmas Penanae, seperti diakui Koordinator Gizi Puskesmas setempat, Indrani, sejak awal Januari hingga Oktober 2009 tercatat 10 kasus GB. Meski tak seluruhnya disertai penyakit penyerta, dua orang diantaranya tercatat masuk dalam fase Marasmus atau fase klinis.
Sejumlah bayi dan balita yang pernah dirawat di situ adalah Suci Anggriani, Wulandari, Anita Puspita, M Munandar, Sri Rahmadani, Eka Kurniati, Fauzan, Fitri Daulita, Rahmad Abdi dan Nursafitrah. “Meski saat ini hampir sudah pulih, dulunya semuanya masuk Gizi Buruk. Cuma dua orang klinis, satu orang itu sudah berpindah alamat jadi tidak ditangani di sini lagi,” ujar Indriani kepada wartawan di Puskesmas Penanae, Sabtu (10/10) lalu.
Diakui Indriani, tidak hanya tahun 2009, sebelumnya atau akumulasi tahun 2008 dan 2007, GB di wilayah Puskesmas Penanae mencapai ratusan dengan dominasi Kelurahan Rabadompu Barat dan Penaraga. Untuk penanganan penderita itu, Puskesmas hanya bisa mengandalkan bantuan dari Menko Kesra berupa makanan tambahan bisk uit dan susu. Selebihnya, tidak ada dana dan terpaksa “menyunat” alokasi dana Jamkesmas. “Bantuan sosialnya, ada uang penunggu, susu dan telur yang dulu diberikan Menko Kesra, kita utamakan yang memiliki Jamkesmas,” ujarnya.
Hampir sama dengan kondisi Penanae, berdasarkan rekam medik kasus GB di Puskesmas Mpunda dari awal Januari hingga Oktober 2009 mencapai 29 kasus yang didominasi warga Mande. Hal itu diungkap Kepala Puskesmas setempat, dr Budi Prabowo, kepada wartawan, Sabtu lalu.
Dari puluhan kasus GB itu, jelas Budi, enam orang penderitanya masuk dalam kategori klinis atau fase marasmus meski saat ini sudah berangsur pulih. Bahkan, sebelum tahun 2009, seorang penderita GB di wilayah itu meninggal dunia karena telat ditangani. “Memang sudah cukup banyak yang keluar dari itu, tapi masih cukup rentan kembali kambuh atau menderita gizi buruk klinis, kembali lagi dengan faktor ekonomi atau asupan gizinya,” ujar Budi di Sadia.
Diakuinya, anggaran penanganan GB di Puskesmas Mpunda berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang dialirkan pemerintah pusat, bentuknya berupa Modisco, kacang hijau dan susu. Penyebab GB, diakuinya, memang karena multifaktor, seperti pendidikan, sosial dan pemahaman kesehatan. Namun, faktor ekonomi atau kesejahteraan masyararakat lebih dominan memengaruhinya. “Seluruh faktor itu asalnya dari masalah kemampuan ekonomi masyarakat,” katanya.
Bagaimana dengan kondisi Puskemas Paruga? Koordinator Gizi Puskesamas setempat, Nurlaila, AMG, mengakui sejak awal Januari hingga Oktober 2009, kasus GB juga tercatat mencapai puluhan atau 25 kasus. Meski rata-rata tidak termasuk fase klinis dan tidak disertai penyakit, satu penderita GB klinis, Ismaura, warga Kelurahan Dara masih memilih menjalani perawatan di luar Puskesmas karena pertimbangan ekonomi.
“Yang masuk fase nonklinis itu, dilihat dari berat badan per umur, kondisi mereka menandakan gizi buruk karena kurus,” ujar Nurlaila.
Dikatakannya, sama dengan sejumlah Puskesmas lainnya, lantaran minimnya anggaran, Puskesmas Paruga juga terpaksa “menyunat” anggaran Jamkesmas untuk menangani penderita GB. “Mau bagaimana lagi, jika kita tidak mengambil kebijakan seperti itu, taruhannya nyawa,” katanya. (BE.17)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar